Tanaman Ashitaba (latin: Angelica Keiskei K) famili:
Umbelliferae, juga di kenal dengan sebutan "Daun Malaikat". Sebutan
tersebut diberikan di masa lalu karena pengalaman atas kemampuan penyembuhan
Ashitaba sebagai Tanaman Obat (TO). Bahkan peneliti modern, setelah
memperhatikan data ilmiah Ashitaba, menjuluki Ashitaba sebagai a parennial
plant (Nagata J, Morino T, Saito M, 2007) suatu sebutan untuk menggambarkan
keampuhan Ashitaba yang bersifat lintas batas.
Literatur tertua mengenai Ashitaba terdapat dalam buku TABIB
LEE (1593 - 1518 SM) yang ditulis semasa pemerintahan Dinasti Ming. Buku
tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, Jerman dan
Rusia. Keunggulan berbagai khasita Ashitaba, mengundang minat para ilmuwan
untuk senantiasa berusaha menelitinya (ashitaba has been attracting more and
more attention from the scientific community) (Kazuo Ida, 2010).
Di Indonesia Ashitaba belum menjadi perhatian peneliti.
Secara atnofarmakologis Ashitaba telah dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat
Banyuwangi, Jawa Timur, untuk menyembuhkan beberapa penyakit tertentu (Sri
Wuryanti, 2006).
Tanaman yang masih satu famili dengan seledri (Apiumgraveolens) ini dikembangkan oleh BAPETRO menyerupai habitat aslinya
berdasarkan teknologi simulasi konservasi, TANPA PESTISIDA dan BAHAN KIMIA apa
pun, TANPA REKAYASA GENETIKA (Non-GMO's/Genetically Modified Organisms) serta
diproduksi TANPA BAHAN PENGAWET (non-preservated).
Dalam pendekatan simulasi konservasi, Ashitaba dibiarkan
tumbuh sebagaimana layaknya kehidupan di zona konservasi (hutan lindung).
Tujuannya agar Ashitaba Bapetro mampu mengembangkan mekanisme pertahanan diri
secara mandiri (self defense mechanism) dengan jalan mengoptimalkan seluruh
sistem biokimia di dalamnya secara alamiah, sehingga dihasilkan kandungan
senyawa obat alami yang berkhasiat, bermutu tinggi dan aman dikonsumsi.